Minggu, 23 Desember 2012

Raja-raja Kerajaan Majapahit

Letak Geografis

Secara geografis letak kerajaan Majapahit sangat strategis karena adanya di daerah lembah sungai yang luas, yaitu Sungai Brantas dan Bengawan Solo, serta anak sungainya yang dapat dilayari sampai ke hulu.
Sejarah Terbentuknya Kerajaan Majapahit
Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya bertugas menghadang bagian utara, ternyata serangan yang lebih besar justru dilancarkan dari selatan. Maka ketika Raden Wijaya kembali ke Istana, ia melihat Istana Kerajaan Singasari hampir habis dilalap api dan mendengar Kertanegara telah terbunuh bersama pembesar-pembesar lainnya. Akhirnya ia melarikan diri bersama sisa-sisa tentaranya yang masih setia dan dibantu penduduk desa Kugagu. Setelah merasa aman ia pergi ke Madura meminta perlindungan dari Aryawiraraja. Berkat bantuannya ia berhasil menduduki tahta, dengan menghadiahkan daerah tarik kepada Raden Wijaya sebagai daerah kekuasaannya. Ketika tentara Mongol datang ke Jawa dengan dipimpin Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau Hsing dengan tujuan menghukum Kertanegara, maka Raden Wijaya memanfaatkan situasi itu untuk bekerja sama menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang terbunuh, tentara Mongol berpesta pora merayakan kemenanganya. Kesempatan itu pula dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk berbalik melawan tentara Mongol, sehingga tentara Mongol terusir dari Jawa dan pulang ke negrinya. Maka tahun 1293 Raden Wijaya naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana.

RAJA-RAJA MAJAPAHIT
raden-wijaya1
Kertarajasa Jawardhana (1293 – 1309)
Merupakan pendiri kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahannya, Raden Wijaya dibantu oleh mereka yang turut berjasa dalam merintis berdirinya Kerajaan Majapahit, Aryawiraraja yang sangat besar jasanya diberi kekuasaan atas sebelah Timur meliputi daerah Lumajang, Blambangan. Raden Wijaya memerintah dengan sangat baik dan bijaksana. Susunan pemerintahannya tidak berbeda dengan susunan pemerintahan Kerajaan Singasari.
jayanegara1
Raja Jayanegara (1309-1328)
Kala Gemet naik tahta menggantikan ayahnya dengan gelar Sri Jayanegara. Pada Masa pemerintahannnya ditandai dengan pemberontakan-pemberontakan. Misalnya pemberontakan Ranggalawe 1231 saka, pemberontakan Lembu Sora 1233 saka, pemberontakan Juru Demung 1235 saka, pemberontakan Gajah Biru 1236 saka, Pemberontakan Nambi, Lasem, Semi, Kuti dengan peristiwa Bandaderga. Pemberontakan Kuti adalah pemberontakan yang berbahaya, hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Namun semua itu dapat diatasi. Raja Jayanegara dibunuh oleh tabibnya sendiri yang bernama Tanca. Tanca akhirnya dibunuh pula oleh Gajah Mada.
tribuana
Tribuwana Tunggadewi (1328 – 1350)
Raja Jayanegara meninggal tanpa meninggalkan seorang putrapun, oleh karena itu yang seharusnya menjadi raja adalah Gayatri, tetapi karena ia telah menjadi seorang Bhiksu maka digantikan oleh putrinya Bhre Kahuripan dengan gelar Tribuwana Tunggadewi, yang dibantu oleh suaminya yang bernama Kartawardhana. Pada tahun 1331 timbul pemberontakan yang dilakukan oleh daerah Sadeng dan Keta (Besuki). Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada yang pada saat itu menjabat Patih Daha. Atas jasanya ini Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Pu Naga. Gajah Mada kemudian berusaha menunjukkan kesetiaannya, ia bercita-cita menyatukan wilayah Nusantara yang dibantu oleh Mpu Nala dan Adityawarman. Pada tahun 1339, Gajah Mada bersumpah tidak makan Palapa sebelum wilayah Nusantara bersatu. Sumpahnya itu dikenal dengan Sumpah Palapa, adapun isi dari amukti palapa adalah sebagai berikut :”Lamun luwas kalah nusantara isum amakti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Sunda, ring Palembang, ring Tumasik, samana sun amukti palapa”. Kemudian Gajah Mada melakukan penaklukan-penaklukan.
hayam-wuruk
Hayam Wuruk
Hayam Wuruk naik tahta pada usia yang sangat muda yaitu 16 tahun dan bergelar Rajasanegara. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai keemasannya. Dari Kitab Negerakertagama dapat diketahui bahwa daerah kekuasaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hampir sama luasnya dengan wilayah Indonesia yang sekarang, bahkan pengaruh kerajaan Majapahit sampai ke negara-negara tettangga. Satu-satunya daerah yang tidak tunduk kepada kekuasaaan Majapahit adalah kerajaan Sunda yang saat itu dibawah kekuasaan Sri baduga Maharaja. Hayam Wuruk bermaksud mengambil putri Sunda untuk dijadikan permaisurinya. Setelah putri Sunda (Diah Pitaloka) serta ayahnya Sri Baduga Maharaja bersama para pembesar Sunda berada di Bubat, Gajah Mada melakukan tipu muslihat, Gajah Mada tidak mau perkawinan Hayam Wuruk dengan putri Sunda dilangsungkan begitu saja. Ia menghendaki agar putri Sunda dipersembahkan kepada Majapahit (sebagai upeti). Maka terjadilah perselisihan paham dan akhirnya terjadinya perang Bubat. Banyak korban dikedua belah pihak, Sri Baduga gugur, putri Sunda bunuh diri.
Tahun 1364 Gajah Mada meninggal, Kerajaan Majapahit kehilangan seorang mahapatih yang tak ada duanya. Untuk memilih penggantinya bukan suatu pekerjaan yang mudah. Dewan Saptaprabu yang sudah beberapa kali mengadakan sidang untuk memilih pengganti Gajah Mada akhirnya memutuskan bahwa Patih Hamungkubhumi Gajah Mada tidak akan diganti “untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan pemerintahan diangkat Mpu Tandi sebagais Wridhamantri, Mpu Nala sebagai menteri Amancanegara dan patih dami sebagai Yuamentri. Raja Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389.
WikramawardhanaKusumawardhani
Wikramawardhana
Putri mahkota Kusumawardhani yang naik tahta menggantikan ayahnya bersuamikan Wikramawardhana. Dalam prakteknya Wikramawardhanalah yang menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan Bhre Wirabhumi anak Hayam Wuruk dari selir, karena Bhre Wirabhumi (Putri Hayam Wuruk) dari selir maka ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan walaupun demikian ia masih diberi kekuasaan untuk memerintah di Bagian Timur Majapahit , yaitu daerah Blambangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi disebut perang Paregreg.
Wikramawardhana meninggal tahun 1429, pemerintahan raja-raja berikutnya berturut-turut adalah Suhita, Kertawijaya, Rajasa Wardhana, Purwawisesa dan Brawijaya V, yang tidak luput ditandai perebutan kekuasaan.
Sumber Sejarah
Sumber sejarah mengenai berdiri dan berkembangnya kerajaan Majapahit berasal dari berbagai sumber yakni :
Prasasti Butok (1244 tahun). Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia berhasil naik tahta kerajaan. Prasasti ini memuat peristiwa keruntuhan kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan
Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama, kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit
Kitab Pararaton, menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit
Kitab Negarakertagama, menceritakan tentang perjalanan Rajam Hayam Wuruk ke Jawa Timur.
Kehidupan Politk
Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar tahun 1370 – 1381, Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming.
Raja kerajaan Majapahit sebagai negarawan ulung juga sebagai politikus-politikus yang handal. Hal ini dibuktikan oleh Raden Wiajaya, Hayam Wuruk, dan Maha Patih Gajahmada dalam usahanya mewujudkan kerajaan besar, tangguh dan berwibawa. Struktur pemerintahan di pusat pemerintahan Majapahit :
1. Raja
2. Yuaraja atau Kumaraja (Raja Muda)
3. Rakryan Mahamantri Katrini
a. Mahamantri i-hino
b. Mahamantri i –hulu
c. Mahamantri i-sirikan
4. Rakryan Mahamantri ri Pakirakiran
a. Rakryan Mahapatih (Panglima/Hamangkubhumi)
b. Rakryan Tumenggung (panglima Kerajaan)
c. Rakryan Demung (Pengatur Rumah Tangga Kerajaan)
d. Rakryan Kemuruhan (Penghubung dan tugas-tugas protokoler) dan
e. Rakryan Rangga (Pembantu Panglima)
5. Dharmadyaka yang diduduki oleh 2 orang, masing-masing dharmadyaka dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut Upapat. Pada masa hayam Wuruk ada 7 Upapati.
Selain pejabat-pejabat yang telah disebutkan dibawah raja ada sejumlah raja daerah (paduka bharata) yang masing-masing memerintah suatu daerah. Disamping raja-raja daerah adapula pejabat-pejabat sipil maupun militer. Dari susunan pemerintahannya kita dapat melihat bahwa sistem pemerintahan dan kehidupan politik kerjaan Majapahit sudah sangat teratur.
Kehidupan Sosial Ekonomi dan Kebudayaan
Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tentangga itu sangat mendukung dalam bidang perekonomian (pelayaran dan perdagangan). Wilayah kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan yang menghasilkan berbagai sumber barang dagangan.
Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana.
Dalam dunia perdagangan, kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting.
Sebagai kerajaan Produsen – Majapahit mempunyai wilayah yang sangat luas dengan kondisi tanah yang sangat subur. Dengan daerah subur itu maka kerajaan Majapahit merupakan produsen barang dagangan.
Sebagai Kerajaan Perantara – Kerajaan Majapahit membawa hasil bumi dari daerah yang satu ke daerah yang lainnya. Keadaan masyarakat yang teratur mendukung terciptanya karya-karya budaya yang bermutu. bukti-bukti perkembangan kebudayaan di kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan berikut ini :
Candi : Antara lain candi Penataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan candi Tikus (Trowulan).
Sastra : Hasil sastra zaman Majapahit dapat kita bedakan menjadi
Sastra Zaman Majapahit Awal
  • Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca
  • Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular
  • Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular
  • Kitab Kunjarakarna
  • Kitab Parhayajna
Sastra Zaman Majapahit Akhir
  • Hasil sastra zaman Majapahit akhir ditulis dalam bahasa Jawa Tengah, diantaranya ada yang ditulis dalam bentuk tembang (kidung) dan yang ditulis dalam bentuk gancaran (prosa). Hasil sastra terpenting antara lain :
  • Kitab Prapanca, isinya menceritakan raja-raja Singasari dan Majapahit
  • Kitab Sundayana, isinya tentang peristiwa Bubat
  • Kitab Sarandaka, isinya tentang pemberontakan sora
  • Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe
  • Panjiwijayakrama, isinya menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja
  • Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar, pemindahan Keraton Majapahit ke Gelgel dan penumpasan raja raksasa bernama Maya Denawa.
  • Kitab Usana Bali, isinya tentanng kekacauan di Pulau Bali.
Selain kitab-kitab tersebut masih ada lagi kitab sastra yang penting pada zaman Majapahit akhir seperti Kitab Paman Cangah, Tantu Pagelaran, Calon Arang, Korawasrama, Babhulisah, Tantri Kamandaka dan Pancatantra.

Kamis, 20 Desember 2012

Dua Presiden Indonesia yang Terlupakan Dalam Sejarah

Mungkin masih banyak dari masyrakat Indonesia yang beranggapan bahwa Indonesia hingga saat ini baru dipimpin oleh enam presiden, yaitu Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun hal itu ternyata keliru. Indonesia, menurut catatan sejarah, hingga saat ini sebenarnya sudah dipimpin oleh delapan presiden. Lho, kok bisa? Lalu siapa dua orang lagi yang pernah memimpin Indonesia?

Dua tokoh yang terlewat itu adalah Sjafruddin Prawiranegara (sebelah kiri pada gambar di atas) dan Mr. Assaat. Keduanya tidak disebut, bisa karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja. Sjafruddin Prawiranegara adalah Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap Belanda pada awal agresi militer kedua, sedangkan Mr. Assaat adalah Presiden RI saat republik ini menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (1949).

Pada tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan agresi militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno - Hatta mengirimkan telegram berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".

Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".

Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI "diproklamasikan" . Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinatenya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.

Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.

Mr. Assaat
Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani di Belanda, 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia. Negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain. Karena Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia.

Assaat adalah Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernah terputus sampai kini. Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan.

Dengan demikian, SBY adalah presiden RI yang ke-8. Urutan Presiden RI adalah sebagai berikut: Soekarno (diselingi oleh Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat), Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

sumber:
http://veromons.blogspot.com/2012/01/dua-presiden-indonesia-terlupakan.html

Rabu, 19 Desember 2012

Perancang Lambang Garuda Pancasila yang Terlupakan

Burung Garuda, lambang yang kokoh yang mencerminkan karakter bangsa dan membawa simbol Pancasila.
Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.
Sumber: selokartojaya.blogspot.com